Inilah email yang berisi pencemaran nama baik salah seorang capres yaitu SBY. Benarkah email ini hanya fitnah dan pencemaran nama baik atau isi email ini hoax. Tergantung dari pembaca yang menilainya.
Marcus Brutus adalah kawan, anak buah dan orang yang dipercaya Julius Caesar, kaisar Romawi. Tapi Brutus pulalah yang menusuk sang kaisar dengan pisau dari belakang hingga mati. Karakter Brutus akhirnya dipakai untuk menggambarkan seorang yang berkhianat terhadap orang yang menolongnya, melindunginya dan bahkan mempercayainya. Karakter Brutus ini hampir selalu muncul dalam pergulatan politik. Dalam perbincangan politik Indonesia sekarang ini, salah satu figur yang dijuluki Brutus adalah Jenderal SBY.
SBY telah menjadi Brutus bagi tiga presiden yaitu Soeharto, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Bedanya, Brutus di zaman Romawi akhirnya mati bunuh diri, sedangkan Brutus SBY terbilang Brutus yang masih beruntung.
Di akhir zaman Presiden Soeharto, SBY menjabat Kasosspol ABRI di bawah Panglima ABRI Wiranto. Tanggal 16 Mei 1998, MABES ABRI di Jalan Merdeka Barat dipenuhi wartawan karena ada siaran pers Wiranto yang meminta Soeharto mundur. Tapi Wiranto tak muncul-muncul.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Wahab Mokodongan, membagikan siaran pers itu yang isinya menimbulkan kontroversi, yaitu: ABRI Mendukung Pernyataan PBNU. Padahal isinya adalah minta Soeharto untuk turun. Wiranto kaget, kok ada siaran seperti ini. Kemudian baru diketahui bahwa SBY-lah yang membuat dan mengkonsep pernyataan itu. Dengan cara itu, SBY bermaksud mendorong dan menjebak Wiranto untuk ambil alih kekuasaan. Akibatnya, Wiranto sempat kena tuding mau mengkudeta Soeharto. Seperti ditulis dibukunya, SBY bahkan sempat bertanya pada Wiranto, “Apakah Bapak akan ambil kekuasaan?” Ambisi SBY memang besar. Targetnya ketika itu adalah Pangab. Kalau Wiranto bisa jadi Presiden dengan mengambil alih dari Soeharto, tentu ia akan ditunjuk jadi Pangab, orang nomor satu di ABRI. Tapi Wiranto memang dinilainya penakut. Tapi, setelah Soeharto jatuh, peristiwa ini dieksploitasinya sebagai bentuk keberpihakannya pada kelompok reformis. Ke mana-mana ia mengatakan bahwa ia adalah ABRI yang reformis dan ABRI perlu paradigma baru. Dengan tampil sebagai sosok seolah-olah reformis, SBY tampil dalam elit politik pada pemerintahan pasca Soeharto.
Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999), SBY menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Jabatan ini sama sekali tak memuaskannya karena tak ada peluang untuk bermanuver politik secara leluasa. Ia sangat gerah pada pemerintahan Habibie karena pada dasarnya SBY sama sekali tak percaya pada pemerintahan sipil. Namun karena ABRI masih berada di bawah Pangab Wiranto, SBY tetap loyal pada Jenderal Wiranto. Apapun kata Wiranto, ia patuhi.
Sebaliknya, ia bisa juga memanfaatkan Wiranto. Dalam kasus Jajak Pendapat Agustus 1999 di Timor Timur, contohnya, SBY mendukung Wiranto yang setuju agar dilakukan Jajak Pendapat itu. Ia pula yang meyakinkan Wiranto agar Jajak Pendapat itu dilaksanakan. Sementara itu, Presiden Habibie setuju-setuju saja dengan rencana ini karena ia memang sedang mendambakan Hadiah Nobel Perdamaian yang bisa membuatnya terpilih lagi dalam Sidang Umum MPR, Oktober 1999. Hasilnya: Timor Timur lepas dan hingga kini masih menyisakan masalah dengan pengungsi dan lain-lain. Ribuan tentara yang berkorban dalam aneksasi Timor Timur terbuang sia-sia. SBY dipuji Amerika karena telah menjalankan misi dengan baik. Sudah lama, AS dan negara sekutunya, Australia, ingin Timor Timur pisah dari Indonesia. SBY dan Wiranto telah berhasil mendorong Habibie yang ultraliberal untuk Jajak Pendapat yang hasilnya pasti kemerdekaan untuk Timor Timur.
Ketika SU MPR Oktober 1999, Wiranto sempat maju jadi capres meskipun waktu itu belum melepas jabatannya sebagai Pangab. Adalah SBY yang mendorong Wiranto untuk maju. Bahkan ketika dia menyatakan mencabut pencalonannya sebagai capres, orang yang paling menonjol berdiri di belakang Wiranto adalah SBY. Gambar ini bisa dilihat dalam iklan-iklan Wiranto beberapa waktu lalu. Di situ, kelihatan SBY seperti ajudan Wiranto dengan pandangan lurus ke depan tak berkedip. SU MPR akhirnya dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid yang didukung Poros Tengah. Aliansi Poros Tengah berhasil menjegal Megawati yang partainya, PDIP, menang Pemilu pada bulan Juni 1999.
Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat SBY jadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada tanggal 26 Oktober 1999. Ini adalah hasil deal dengan ABRI. Waktu itu dia masih jenderal aktif. SBY berhasil mendapat simpati dan kepercayaan dari Gus Dur. Ia mendapat pekerjaan dan tugas di luar kewenangannya sebagai Mentamben. Gus Dur memperlakukannya seperti anak emas dan bahkan menunjuknya sebagai negosiator dengan pihak Keluarga Cendana untuk mengembalikan harta kekayaan Soeharto yang diduga hasil korupsi saat menjadi Presiden RI. Bolak-balik SBY datang ke rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) untuk menyampaikan keinginan Gus Dur. Tapi, tak ada upaya serius kecuali ngobrol-ngobrol ringan dengan beberapa anggota Keluarga Cendana. Sebagai Mentamben pun tak ada prestasi apa-apa. Ia cuma melakukan kunjungan-kunjungan dan pidato-pidato yang normatif. Untunglah ada Dirut Pertamina yang cukup handal ketika itu: Martiono.
Ketika Gus Dur merombak kabinetnya 26 Agustus 2000, SBY tetap dipercaya dan mendapat promosi sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam). Kepercayaan ini diberikan Gus Dur karena SBY pernah bersumpah akan mendukung Presiden Gus Dur hingga selesai. Tapi harapan Gus Dur itu bertepuk sebelah tangan.
Pemerintahan Gus Dur terus digoyang oleh DPR karena kasus Buloggate dan Bruneigate. DPR sudah mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II sebelum diputuskan perlunya Sidang Istimewa (SI). Memorandum II dikeluarkan tanggal 30 April 2001 dan berakhir satu bulan. Bayang-bayang Sidang Istimewa mengancam pemerintahan Gus Dur. Ia benar-benar sudah diujung tanduk.
Sebagai langkah antisipatif, Gus Dur berunding dengan SBY untuk mencegah pemerintahannya jatuh. Reputasi Gus Dur ketika itu sudah sangat jelek di masyarakat dan di kalangan DPR. Gus Dur meminta SBY tetap mendukung langkah-langkahnya menghadapi DPR. SBY menyatakan dukungan sepenuhnya. Maka, pada awal Mei 2001 dibentuklah Tim Tujuh (7) yang diketuai SBY. Tim ini diberi mandat oleh Gus Dur untuk merumuskan dan mengambil tindakan segala langkah politik yang perlu guna mengatasi ketegangan antara Presiden dan DPR secara konstruktif dan komprehensif. Gus Dur juga meminta SBY membuat konsep pelimpahan tugas dan wewenang Presiden kepada orang yang ditugaskan. Demikian tinggi kepercayaan Presiden Gus Dur pada SBY saat itu.
Hasil dari Tim Tujuh yang diketuai SBY adalah perlunya dikeluarkan Maklumat Presiden yang intinya melimpahkan wewenang pada pejabat yang ditunjuk. Maka atas saran SBY, pada tanggal 28 Mei 2001, Gus Dur membuat Maklumat Presiden yang memberi perintah untuk diambilnya langkah dan tindakan khusus dalam rangka menciptakan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya. Maklumat Presiden itu diserahkan kepada SBY. Gus Dur berharap SBY benar-benar dapat mengatasi keadaan sehingga situasi menjadi tenang.
Namun, apa yang terjadi? SBY sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia tak melobi DPR, Wapres Megawati atau tokoh-tokoh politik kunci yang beroposisi terhadap Gus Dur. Sebaliknya, SBY menaikkan posisi tawar dirinya dalam pentas politik nasional. Ia menempatkan diri seolah-olah pihak yang bijak yang tak mau menggunakan kekuasaan sewenang-wenang.
Keinginan-keinginan Gus Dur ditepisnya. Inilah pengkhianatan paling telanjang dalam politik Indonesia mutakhir: Gus Dur ditikam dari belakang. Lagi-lagi peristiwa ini mengingatkan kita pada Marcus Brutus yang menikam Julius Caesar.
Gus Dur sungguh kecewa. Harapan Presiden Gus Dur kepada SBY tak kesampaian. Di saat cucu Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari itu di ujung tanduk, SBY mengabaikan perintahnya. Malah, tak disangka, orang yang begitu dipercayanya justru menikamnya dari belakang. SBY yang menganjurkan Maklumat, ia pula yang mementahkannya. Gus Dur tak tahu bahwa SBY bukan semata-mata mengambil langkah itu karena rasional politik, tapi juga karena kawan-kawannya di pemerintahan Bush (AS) sudah memesankan agar Gus Dur diganti. Pengamat Jeffrey Winters pada saat itu mengatakan bahwa Washington sudah memutuskan bahwa Gus Dur harus pergi.
Indikatornya, IMF tidak mengucurkan bantuan dana 400 juta dollar. Bahkan SBY juga beberapa kali melakukan kontak dengan Wakil Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz.
Dua hari sesudah Maklumat Presiden dikeluarkan, tanggal 30 Mei 2001, DPR sepakat menggelar SI untuk Gus Dur. Karena sakit hati dikhianati, Gus Dur besoknya mengganti SBY dengan Agum Gumelar.
Berbeda dengan SBY, Agum jauh lebih loyal dan setia kawan. Meskipun Agum tak setuju dengan berbagai langkah Gus Dur, ia tetap menunjukkan sikap ksatria sebagai orang yang bertahan dengan kawannya. Sementara SBY seringkali memperlihatkan sikap “colong pelayu.”
Ambisi SBY tetap berkobar. Meski baru menusuk Gus Dur dari belakang, ia berani tampil maju sebagai kandidat Wakil Presiden pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001 bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. SBY akhirnya dikalahkan oleh Hamzah Haz.
Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur bermurah hati menampung SBY yang sudah keleleran, tak ada jabatan dan pekerjaan. SBY melalui orang-orang dekatnya memang melobi Mega untuk memakainya menjadi menteri. Mulanya Mega ragu, karena tingkah laku SBY yang selama ini tak pernah setia dan cenderung jadi Brutus, namun karena SBY meminta-minta dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya, naluri keibuan Mega tak tega menolak SBY. Tanggal 10 Agustus 2001, SBY diangkat menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong Royong. Dari sinilah ia habis-habisan membangun citra sebagai orang yang mengendalikan Megawati. Karena Presiden Megawati hemat bicara, SBY menempatkan diri semacam juru bicara pemerintah.
Apa prestasi SBY dalam Kabinet Mega? Lagi-lagi tak ada yang istimewa. Tugas-tugas penanganan konflik Ambon dan Poso justru lebih banyak dilakukan Menko Kesra Yusuf Kalla. Di Jakarta, kalangan politisi menyindir SBY salah tempat, harusnya dia jadi Menko Kesra atau Menteri Sosial. Sudah jadi rahasia umum, SBY sangat takut menangani konflik Ambon yang penuh darah. Ia ngeri untuk datang ke Ambon dan meminta Kalla mewakilinya. Lahirnya Malino I dan Malino II jelas bukan atas prakarsa SBY. Para wartawan bahkan mengetahui bagaimana SBY hanya ingin tampilnya saja ketika penandatangan perjanjian damai Malino I dan II. SBY berada di ruang rias hampir satu jam untuk menata wajah dan rambutnya agar kelihatan keren bila dipotret atau disorot kamera. Para hadirin terpaksa agak lama menunggu SBY berias diri sebelum penandatanganan itu. Dalam konflik Aceh, SBY adalah orang yang mengumumkan status darurat militer di Provinsi itu pada tanggal 19 Mei 2003. Namun, ia hanya satu dua kali berkunjung ke Aceh melihat pelaksanaannya.
Sebagai Menko Polkam, SBY piawai menggunakan kesempatan dan fasilitas ini untuk menggalang dukungan. Kantor Menko Polkam dijadikan alat untuk membina basis massa dan kendaraan politik yang akan dipakainya. Ia membentuk tim angket Kementrian Polkam serta tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu di 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Langkah ini adalah untuk mengukur sejauh mana aspirasi dan kehendak masyarakat dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan pilpres 5 Juli 2004. Ia juga menggunakan iklan ajakan damai di televisi sebagai langkah memperbesar popularitas. Semua itu dibiayai oleh Kementrian Polkam. Bukankah ini sebuah bentuk korupsi dan manipulasi? Ya. Inilah langkah sistematis SBY untuk menikam Mega dari belakang. SBY kembali membuktikan dirinya sebagai Brutus, kali ini terhadap Presiden Megawati.
Bulan September-Oktober 2003, foto-foto SBY beredar dalam bentuk poster, stiker dan spanduk Partai Demokrat. Tanggal 9 Februari 2004, di majalah Tempo, dengan terang-terangan SBY menyatakan siap jadi presiden. Ia juga mengaku punya pertalian dengan Partai Demokrat.
Tanggal 10 Februari 2004, SBY membuat lagi pernyataan lanjutan bahwa ia siap mundur dari kabinet jika resmi ditetapkan sebagai calon presiden. Langkah dan manuver SBY itu jelas mengganggu kinerja Kabinet Mega.
Para pentolah PDIP menilai SBY tengah melakukan plot politik. Harusnya SBY tidak plin plan. Jika mau maju jadi presiden, kenapa tak langsung mundur saja dari kabinet atau tetap menjalankan tugas Menko Polkam seperti amanat yang diberikan padanya.
Suami Presiden Megawati yang juga fungsionaris PDIP menjadi berang. Ia tak sabar dengan manuver SBY. Tanggal 2 Maret 2004, ia menyebut SBY seperti “Anak kecil.” “Masak, jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu,” kata Taufik di Jakarta. Pernyataan TK (begitu panggilan akrab Taufik) adalah hasil provokasi yang dijalankan “tim sukses” SBY yaitu Sudi Silalahi, sekretaris Menko Polkam. Sehari sebelumnya, 1 Maret 2004, Sudi bicara di depan wartawan bahwa SBY dikucilkan Presiden Megawati. SBY, kata Sudi, tak dilibatkan dalam berbagai rapat penting Kabinet Mega. Kontan saja, suhu politik agak meningkat. Provokasi Sudi berhasil memancing amarah orang-orang PDIP.
Drama politik SBY menjadi perhatian publik. Ia menciptakan kesan sebagai orang yang teraniaya, tertindas dan terkucil oleh kekuasaan Presiden Mega. Fenomena ini sungguh ironis. Kenyataannya, justru Megawati adalah orang yang ditikam dari belakang oleh SBY. Megawati yang selama ini melindungi, mempercayai, dan memberi kewenangan yang besar pada SBY, justru dikorbankan untuk mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat. Jangankan terima kasih, langkah Brutus SBY ini bahkan dijadikan bahan kampanye Partai Demokrat di berbagai daerah.
Ternyata apa yang dilakukan SBY sebagai Menko Polkam bukan untuk kemaslahatan rakyat atau kebaikan bangsa, melainkan hanya semata-mata batu loncatan bagi ambisi pribadinya menjadi Presiden.
Pola Brutus SBY memang bukan baru. Seperti diceritakan sebelumnya, SBY telah berbakat jadi Brutus (pengkhianat/penusuk dari belakang/penggunting dalam lipatan/penyalib di tikungan) sejak zaman Soeharto. Langkahnya yang culas dan licik sebagai Brutus lebih mantap di zaman Habibie dan Gus Dur serta puncaknya pada 11 Maret 2004 ketika ia mundur dari Kabinet Megawati. Megawati yang membutuhkan bantuan Menko Polkam dalam penanganan politik nasional dan keamanan Pemilu ditinggalkan begitu saja, tanpa pertanggungjawaban.
Ketika itu, tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta, atau kota besar lainnya, ancaman perampokan, pembunuhan, atau pencurian, merajalela. Lampu merah (lampu lalu lintas) adalah daerah bahaya satu, karena di situ beroperasi kelompok `’Kapak Merah”. Ketika lampu merah menyala, tiba-tiba saja serombongan anak muda bersenjata kapak, pisau, atau golok -terkadang bersenjata api-menyatroni mobil yang sedang berhenti, memecahkan kacanya, lalu merampok penumpangnya, dan pergi seenaknya saja meninggalkan korban, yang tak jarang sudah dianiaya terlebih dulu. Polisi seakan tak berdaya. Itu menyebabkan rakyat terpancing menjadi main hakim sendiri. Maling motor yang tertangkap, dibakar hidup-hidup. Adegan mengerikan itu, merupakan pemandangan sehari-hari di mana-mana.
Itu belum seberapa. Berbagai daerah bergolak. Aceh, misalnya,seakan sudah terpisah dari Republik. Bayangkan, Presiden Abdurrahman Wahid, datang ke Banda Aceh, ketika itu, hanya berani sampai Masjid Raya. Bicara sebentar, ia langsung balik ke bandar udara, terbang pulang ke Jakarta. Di Ambon, Maluku, `’perang” Islam – Kristen, mencapai puncaknya. Tak terhitung nyawa yang melayang, bangunan yang terbakar, atau perkantoran yang dimusnahkan. Peristiwa serupa terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Di berbagai daerah di Kalimantan, orang Dayak `’perang” melawan suku pendatang, Madura. Korban tak lagi terhitung.
Nah, ketika itu yang menjadi Menko Polkam adalah Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berambisi menjadi Presiden RI. Sebagai penanggungjawab stabilitas politik dan keamanan di kabinet, apa yang SBY lakukan? `’Ooh dia rapat terus, diskusi terus, sampai berbulan-bulan,” ujar seorang Menteri yang ketika itu masuk jajaran Polkam. Sebagai hasil rapat-rapat yang melelahkan yang dipimpin SBY itu, dibentuklah Desk Aceh, Desk Ambon, Desk Poso, Desk Sampit, dan entah Desk apa lagi. Apa kerja Desk itu? Jangan tanya, karena mereka rapat terus, diskusi terus, seminar terus. `’Saya lihat orang-orang yang bunuh-bunuhan di Ambon, Poso, atau Sampit, sudah mulai capek. Mereka juga sudah capek membakar rumah, saking banyaknya rumah yang dibakar. Tapi rapat belum menghasilkan keputusan apa pun,” kata Menteri tadi.
Suatu hari rapat berlangsung, dipimpin SBY. Seperti biasa, diskusi berlangsung seru di antara peserta rapat, dan SBY menjadi moderatornya, persis seperti diskusi atau seminar yang biasa dilakukan di hotel-hotel. Tiba-tiba, SBY memerintahkan Mayjen. Aqlani Maja, Staf Ahli Menhankam, yang bertugas mewakili Menhankam Mahfud MD, untuk memberikan pendapat. Konon, Aqlani langsung bicara, `’Pak Menteri, saya kira sudah lebih 3 bulan kita rapat terus. Semua kita diskusikan. Orang yang bunuh-bunuhan di Poso, Ambon, atau Kalimantan, tampaknya sudah capek, mereka sudah berhenti sendiri.Tapi rapat belum mengambil keputusan apa pun. Kalau Pak Menteri minta pendapat saya, apa saja yang Pak Menteri putuskan saya setuju. Yang penting, kita harus punya keputusan. Saya kira itu yang penting.” Wajah SBY langsung merah-padam. Mungkin merasa malu, sekaligus marah, karena merasa dihina. `’Ini bukan rapat kedai kopi, yang hadir di sini, para Menteri,” teriak SBY. Semua terdiam. Tapi beberapa Menteri, di antaranya, Menteri Otonomi, Prof. Ryaas Rasyid, secara sembunyi-sembunyi menunjukkan jempol jari tangannya kepada Aqlani, sebagai tanda mendukung. Rapat pun akhirnya bubar, sekali lagi: tanpa keputusan apa pun.
Menurut sebuah sumber, Aqlani berani bicara seperti itu, selain karena sudah kesal, mengikuti rapat yang melelahkan tanpa keputusan itu, ia memang sudah lama kenal watak atau kepribadian SBY. Ia dan SBY, sama-sama mengikuti pendidikan militer di Port Leavenworth, Amerika. Di sana pula, mereka sama mengikuti pendidikan S2, dan sama pula lulusnya. Sebelumnya, mereka pernah pula menjadi dosen di Seskoad, Bandung, ketika Komandan Seskoad dijabat Feisal Tanjung. Jadi rupanya, ia tahu betul, bahwa SBY itu adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan (indecisive), apalagi keputusan itu berisiko.
Karena cacat personalitinya itulah, semasa menjadi Menko Polkam, nyaris tak satu pun keputusan penting -apalagi yang berisiko tinggi-datang dari kantor Menko Polkam. Kantor Menko Polkam, di kalangan para Menteri, sering diejek sebagai kantor `’Seminar”. Seperti diketahui, masalah Poso dan Ambon, akhirnya ditangani oleh Yusuf Kalla, yang ketika itu menjabat Menko Kesra yang kemudian muncul Perjanjian Malino I dan II.
Kalau saja SBY punya rasa malu, seharusnya ia mengundurkan diri dari kabinet, saat Malino I dan II ditandatangani, dan mendapat restu dari Presiden. Memang gara-gara Malino itu, SBY marah besar kepada Yusuf Kalla, yang telah mengambil alih wewenang dan tanggung jawabnya, tapi untuk mundur dari kabinet, tentu saja orang seperti SBY tak akan mau.
Ada lagi kisah dramatis, sekaligus memalukan. Sewaktu Aceh diputuskan menjadi daerah darurat militer, SBY menjadi pelaksana hariannya, pimpinan tertinggi adalah Presiden Megawati. Sejumlah pasukan yang dikirim dengan kapal, sampai setengah bulan terkatung-katung di tengah laut, karena SBY tak juga memutuskan sikap pemerintah untuk pendaratan pasukan itu. Malah ada yang bilang, pasukan itu sempat tiga hari kelaparan, karena persediaan makanan sudah habis.
Akhirnya, di tengah moral pasukan yang sudah hancur seperti itu, barulah mereka didaratkan, konon setelah Presiden Megawati turun tangan. SBY? Seperti biasa, tak bisa membuat keputusan berisiko seperti itu. Hobinya, cuma berbusa-busa bicara di TV dan koran, dengan bahasa yang selalu normatif karena takut berisiko kalau ucapannya salah- tapi disusun sesuai kaedah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanyakanlah pada kawan dan lawannya, tentang cacat SBY itu.
Jawabannya pasti tak jauh berbeda: SBY tak bisa mengambil keputusan. Mana mungkin seorang bisa menjadi pemimpin apalagi menjadi Presiden, pengambil keputusan tertinggi yang sering penuh risiko dengan cacat personaliti yang sangat fatal seperti itu? Ini menjadi alasan pertama dan utama bagi rakyat untuk tidak memilih SBY si peragu.